FILSAFAT
PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH:
Tinjauan
Historis dan Praksis
Mohamad
Ali dan Marpuji Ali
Dosen
Al Islam & Kemuhammadiyahan UMS
PENDAHULUAN
Prof. M. Yunan Yusuf,
Ketua Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat
periode 2000-2005, acapkali melontarkan wacana "Robohnya Sekolah
Muhammadiyah" untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan
mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan
Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam
dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai
ke batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif,
telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan. Berbagai
kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum,
peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana.
Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk
membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya
orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern
dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa
atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur
yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah
menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman
Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja
hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apatah lagi
bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke
depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi,
merupakan sumber utama masalah pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim
menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas
penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”, yang pada
giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang
tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan "musuh" dalam
selimut. Dengan demikian, sudah tinggi
waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif
rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan
seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah
Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan
Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul "Pendidikan
Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis". Sesuai dengan temanya, Maarif
hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan
orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar
Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur'an yang
ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep
pendidikan di dalam Al-Qur'an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan
teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan
adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya,
kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi
di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak
apapun yang bukan berasal dari Islam.
Artikel ini secara
hati-hati akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan
merumuskannya pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk
melangkah ke arah itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat
pendidikan Islam sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan
Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integraslistik. Ketiga,
menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan
Muhammadiyah, dan kemudian ditutup dengan refleksi.
LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat yang dianut
dan diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai
konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan
filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini
dan dianutnya. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang
generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan
Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang
dikerjakan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang
menurut Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim.
Oleh karena itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah
perlu menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para
pemikir maupun praktisi pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan
Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan
bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa
sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan
dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib
Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami
filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan
filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses
pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah
pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang
orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain,
filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang
dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh
pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.
Al-Syaibany menandaskan
bahwa filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat
sebagai berikut: (1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai
dengan ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan
kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka
terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan
pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; (5)
bersifat universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih yang penting
dan sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan
antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses
percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat,
mendalam dan jelas.
Objek kajian filsafat
pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu obyek material dan obyek
formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang
dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau
sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material
filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia
secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya
kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui
pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha
manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan
kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian
sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan
menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan
furqan. Sebagaimana dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam
merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan
sebagai disiplin keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat
pendidikan Islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi
teorisasi pendidikan Islam. Kalau demikian, apabila filsafat pendidikan
Muhammadiyah mengacu atau sama dengan filsafat pendidikan Islam sebenarnya
masih memunculkan masalah, sebab ia masih rentan dan belum kukuh untuk disebut
sebagai sebuah disiplin ilmu baru. Pada titik ini, orientasi filsafat
pendidikan Muhammadiyah itu dapat memperkaya dan memperkukuh kedudukan filsafat
pendidikan Islam.
KYAI AHMAD DAHLAN: PERETAS PENDIDIKAN INTEGRALISTIK
Meskipun tema
pembaharuan pendidikan Muhammadiyah memperoleh perhatian yang cukup serius dari
para pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada satu
karya pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang
dikembangkan oleh Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan
dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari
sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema
pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu
sistem filsafat pendidikan; (2) pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab
pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan; (3)
pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi
persyarikatan; (4) pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak
bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci
dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis. Corak
pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan Kyai
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum
merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang
besar terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah
memberikan jalan lempang untuk perumusan satu filsafat pendidikan.
K.H Ahmad Dahlan
(1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila
mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk
menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak
merujuk pada bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato
terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena
menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui
filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan
tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi
adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap
kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap
kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan
dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi
bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada
petunjuk Allah swt.
Pribadi Kyai Dahlan
adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir
Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia
membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri,
menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu
"model" dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik
pusat" dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab
tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan
dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam. Berbeda dengan
tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan
politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang
pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki
jantung persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis
atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda
diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan
dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan
di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah
Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan
agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat)
pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk
mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.
Cita-cita pendidikan
yang digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil
sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang
memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan
dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan
umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih
terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya
warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu,
masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan
atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin
kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai
Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode
pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses
penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat
itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus
mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru
diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik
Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai
Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi
oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita
pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi
pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus
kita tangkap dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau
etos pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan
arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi
ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya,
sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik
adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di
dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran
mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok
pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang
terbaik. Dalam semangat yang sama,
belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu
pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah
sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
SEKOLAH SYARIAH: SEBUAH CATATAN KANCAH
Pendidikan Islam yang
bercorak integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang melatih perasaan
murid-murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan,
keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka
dipengaruhi sekali oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam.
Meski ide ini telah klasik namun tetap menarik perhatian, sebab merealisasikan
ke tataran praksis selalu tidak mudah. Setelah pembaharuan pendidikan
berlangsung hampir satu abad dualitas pendidikan Islam (juga Muhammadiyah)
masih tampak menonjol. Suatu dualitas budaya muncul di mana-mana di dunia
Muslim, suatu dualitas dalam masyarakat yang berasal dari sistem pendidikan
ganda; sistem pendidikan Islam tradisional, dan sistem pendidikan sekuler modern
melahirkan tokoh-tokoh sekuler. Dengan demikian, proses pencarian sistem
pendidikan integralistik harus dilakukan secara terus-menerus sebangun dengan
akselerasi perubahan sosial dan temuan-temuan inovatif pendidikan. Di
Muhammadiyah, langkah ke arah itu masih terus berlangsung yaitu dengan
membangun sekolah-sekolah alternatif atau kemudian dikenal dengan sekolah
unggulan.
Satu dekade terakhir
ini virus sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan
Tinggi (PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan
untuk menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua
daerah kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk
tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat
sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ pada umumnya ada dua tipe;
sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau
sekolah model baru dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang lebih
interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Ada beberapa sisi
menarik dari Sekolah Model Baru ini. Pada umumnya dikelola oleh anak-anak muda,
memakai sistem full day school (waktu pembelajaran hingga sore hari), memakai
metode-metode baru dalam pembelajaran. Hampir semua SD model baru ini justru
muncul atau gedungnya itu berasal dari SD Muhammadiyah yang sudah mati, tapi
dengan manajemen dan sistem pendidikan baru dapat tumbuh menjadi sekolah
unggul, misal; di Jakarta ada SD Muhammadiyah 8 Plus yang berada di Duren
Sawit, Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya, SD Muhammadiyah Alternatif
di Magelang, SD Muhammadiyah Condong Catur di Yogyakarta, termasuk SD
Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta.
Perjumpaan penulis
dengan mereka (kepala-kepala sekolahnya) menunjukkan bahwa inovasi-inovasi
pendidikan yang dikembangkan, meskipun sudah cukup signifikan belum menyentuh
pada persoalan krusial, yakni mencoba merumuskan bagaimana filsafat dan
kurikulum pendidikan alternatif. Ahmad Solikhin, Kepala SD Muhammadiyah Condong
Catur, sudah merasakan urgensinya namun belum menjadi kesadaran bersama
sehingga belum ada upaya-upaya serius untuk merumuskan satu sistem pendidikan
alternatif yang islami. Ikhtiar untuk coba merumukan satu sistem pendidikan
alternatif mulai tumbuh di SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta
di bawah bimbingan langsung seorang pakar pendidikan khusus, Prof. Sholeh YAI,
Ph.D. Adalah menarik untuk mengikuti dari dekat proses-proses yang sedang
berlangsung di dalamnya.
Untuk
meraih kembali kegemilangan Islam, menurut Prof. Sholeh, sudah tinggi waktunya
untuk segara menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan sistem, atau Tafsir
Sistem. Pada instansi pendidikan ada satu konsep kunci yang musti dirumuskan,
yakni ide fitrah berupa tauhid. Dengan demikian, orientasi filsafat dan
kurikulum pendidikan bertitik tolak dari konsep Tauhid. Bagaimana tauhid
mendasari pendidikan di SD Muhammadiyah Program Khusus, mari kita ikuti
penjelasan berikut:
Berseberangan dengan
pandangan hidup (paradigma pendidikan) kaum sekuler yang menempatkan
material-duniawiyah sebagai tujuan utama. Paradigma pendidikan Islam justru
mengaksentuasikan nilai-nilai tauhid sebagai tujuan yang paling prinsipil dan
substansial. SD Muhammadiyah Program Khusus menjadikan tauhid sebagai landasan
pokok kurikulum yang secara kongkrit terejawantahkan dalam seluruh proses
pembelajaran. Kurikulum yang ada dimodifikasi, dirancang, dan didesain
sedemikian rupa sehingga nilai-nilai tauhid menjiwai dan mempola seluruh mata
pelajaran; pembelajaran matematika, sains, bahasa dan materi lain
diorientasikan untuk mengungkit kembali potensi tauhid (baca fitrah),
menumbuhkembangkan, dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara kasat mata
adalah mudah untuk mengatakan bahwa seluruh lembaga pendidikan Islam, apalagi
sekolah Muhammadiyah, sudah otomotis berdasarkan tauhid. Bukankah di sekolah
tersebut diajarkan materi agama yang relatif banyak? Kenyataan di lapangan
menunjukkan sebaliknya. Ketiadaan orientasi filsafat pendidikan pada urutannya
membawa kebingungan pada diri pendidik sehingga ketika mengajar peserta didik
sangat mungkin tergelincir pada filsafat pendidikan sekuler. Dengan demikian,
tanpa disadari kita telah ikut mengkampanyekan paham sekularisme. Bagaimana
kedudukan Tauhid dalam penyusunan kurikulum di SD Muhammadiyah Program Khusus,
kita simak uraian di bawah ini:
Sebuah ilustrasi
berikut mungkin bisa membantu: puluhan truk (rit) pasir, sejumlah sak semen dan
beberapa kaleng cat tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau
disimpan di gudang. Material itu menjadi bermakna di tangan tukang batu atau
arsitek, beragam bentuk bangunan atau arsitektur akan bisa diwujudkan…..Dalam
konteks pendidikan ilustrasi tersebut menjadi jelas; melimpahnya materi tentang
aqidah, akhlak, al-Qur’an-Hadits, atau hafalan sekian juz plus materi ilmu umum
menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan begitu saja ke peserta didik dalam
keadaan saling terpisah dan bersifat parsial.
Kita
menyadari bahwa ikhtiar membangun kurikulum berbasis tauhid (KBT) tidak semudah
membalikkan telapak tangan dan membutuhkan beberapa generasi untuk
merealisasikannya, tapi langkah itu setidaknya telah meletakkan satu batu bata
untuk pembangunan peradaban Islam yang kokoh dan anggun. Dan kerja di
pendidikan adalah kerja-kerja yang sangat stategis dalam rangka meretas
generasi masa depan yang berkualitas. Mungkin ada yang bertanya, bagaimana
aktualisasi KBT di SD Muhammadiayah Program Khusus? Untuk sekarang ini masih
terlalu dini untuk melakukan penilaian, tapi paling tidak sebuah penilaian awal
yang bersifat umum perlu dikemukakan. Perlu ditekankan di sini, bahwa ini
adalah penglihatan awal dari sebuah proses yang masih sedang berlangsung
sehingga tidak menutup kemungkinan ada perubahan di kemudian hari.
Pertama,
peserta didik pada umumnya berani mengekspresikan diri, ada keberanian untuk
mengutarakan pikirannya. Meski ada keberatan dari beberapa orang tua dan guru
karena alasan etika atau unggah ungguh, seiring meningkatnya kedewasaan masalah
ini pasti akan tertata dengan sendirinya. Kemampuan ini adalah sesuatu yang
sangat berharga, dan telah telah menghilang di sekolah-sekolah konvensional.
Banyak temuan di lapangan, anak-anak berani mengingatkan orang tuanya yang lupa
makan dengan berdiri, mengingatkan mereka untuk sholat. Fenomena ini disebabkan
atau dilatar belakangi oleh (a) alasan agama yang memang ditanamkan di sekolah
ini, bahwa yang wajib di takuti (dalam makna positif) dan Yang Maha Benar
adalah Allah karenanya selain Dia tidak perlu ditakuti dan ada kemungkinan
melakukan kekeliruan sehingga sudah pada tempatnya bila diingatkan, tidak
terkecuali orang tua atau guru. Dan, karena (b) model pembelajaran inklusi yang
dikembangkan oleh sekolah. Dengan pembatasan jumlah siswa maksimal 30 perkelas
dan diampu 2 guru memungkinkan setiap potensi anak terdeteksi oleh guru
sehingga dapat ditumbuhkan secara optimal.
Kedua,
semangat anak-anak untuk mempraktekkan ajaran agama sangat tinggi, sejak kelas 1 ditanamkan untuk selalu
shalat wajib lima waktu secara berjamaah. Mulai kelas 3 sudah kelihatan bahwa
mereka rata-rata lebih suka shalat berjamaah di masjid, bahkan ada beberapa
anak yang sudah secara rutin menjalankan shalat Tahajud. Keadaan ini sedikit
banyak merupakan buah dari pendekatan praktek dalam pembelajaran agama. Agama
bukan hanya olah intelektual yang berisi konsep-konsep abstrak atau menjadi
hafalan di kepala, tapi dengan mempraktekkan secara langsung apa yang
diperintahkan oleh Islam dan menghindari apa yang dilarangnya.
Ketiga,
muncul rasa ingin tahu yang besar pada diri anak-anak untuk segera memahami
suatu permasalahan. Ini memang sudah dirancang, di mana semua tema pembelajaran
harus di kaitkan dengan problem-problem kongrit di lapangan, baik yang
dilakukan secara reguler berupa Praktek Pembelaran Lapangan (PPL) yang
dilakukan setahun 2 kali maupun dengan model riset laboratorium.
REFLEKSI
Apabila Muhammadiyah
benar-benar mau membangun
sekolah/universitas unggul maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana
landasan filosofis pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas
bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan
nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan
orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus
pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang
jelas karena setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih
pada pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda
dengan kebijakan pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif,
dengan bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik
menjadi manusia-manusia yang unggul.
Jika menengok
sekolah/universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama
persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan
kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu
malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan
melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan
kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi
umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya,
evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung
tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Sembari merumuskan
orientasi filosofis pendidikan, pendidikan Islam (Muhammadiyah) memerlukan
kepekaan dalam memahami perkembangan kehidupan dan menjawab setiap kebutuhan
baru yang timbul dari cita-cita anggota masyarakat dengan strategi sebagai
berikut:
1.
Mengusahakan nilai-nilai
islami dalam pendidikan Islam menjadi ketentuan standar bagi pengembangan moral
atau masyarakat yang selalu mengalami perubahan itu;
2.
Mengusahakan
peran pendidikan Islam mengembangkan moral peserta didik sebagai dasar
pertimbangan dan pengendali tingkah lakunya dalam menghadapi norma sekuler;
3.
Mengusahakan
norma islami mampu menjadi pengendali kehidupan pribadi dalam menghadapi
goncangan hidup dalam era globalisasi ini sehingga para peserta didik mampu
menjadi sumber daya insani yang berkualitas;
4.
Mengusahakan
nilai-nilai islami dapat menjadi pengikat hidup bersama dalam rangka mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat Islam yang kokoh dengan tetap memperhatikan
lingkungan kepentingan bangsa; dan
5.
Mengusahakan sifat
ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan yang dikotomis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar